LATEST UPDATES

Saturday, February 6, 2016

Dokumen Rahasia: Uang dan Wanita Kelemahan Tokoh Papua Merdeka

Ilustrasi: Salah seorang tokoh gerakan Papua Merdeka, Filep Karma, yang diberi kesempatan menghadiri acara pernikahan putrinya di Jayapura (Foto: Sydney Morning Herald/Michael Bachelard)
SYDNEY, SATUHARAPAN.COM - Sebuah dokumen yang diklaim berasal dari Badan Intelijen Negara (BIN), memuat daftar tokoh Papua yang dicurigai memiliki inspirasi untuk merdeka. Dokumen itu juga memuat kelemahan dan kekuatan para tokoh.
Salah seorang yang masuk dalam daftar itu ialah Markus Haluk, mantan ketua Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se-Indonesia. Dokumen tersebut melaporkan bahwa  Haluk sering menghadiri seminar yang menuntut pembebasan Papua dan selalu mengeritik kebijakan pemerintah.
Menurut dokumen, kekuatannya adalah kemampuannya untuk memotivasi warga pegunungan Papua yang tidak berpendidikan universitas dan menciptakan "propaganda melalui media".
Ada pun kelemahannya: Uang dan wanita.
Dokumen tersebut diperoleh oleh kantor berita Australia, Fairfax Media dan dilansir olehSydney Morning Herald hari ini (3/2).
BIN menolak adanya dokumen tersebut dan mengatakan akan melakukan penyelidikan dari mana sumbernya.
"BIN tidak pernah mengeluarkan dokumen tersebut," kata Direktur Informasi BIN, Sundawan Salya, sebagaimana dilansir oleh Sydney Morning Herald hari ini (3/2).
"Kami melakukan operasi intelijen dan karena itu tidak akan pernah menggunakan dokumen terbuka seperti itu," kata dia.
Dokumen ini yang diberi judul "Rencana Aksi Papua", bertanggal Maret 2014. Itu berarti beberapa bulan sebelum Joko Widodo menjadi presiden RI. Dokumen dengan logo BIN itu digambarkan berasal dari Deputi II Kepala BIN.

Markus Haluk yang dimintai konfirmasi tentang dokumen tersebut mengatakan ia tidak panik atas tuduhan pada dirinya, terutama soal kelemahannya.
Menurut dia, hal itu merupakan pelecehan atas martabat dirinya.
"Saya punya istri, saya tidak playboy. Saya tahu ada banyak cara Indonesia (mencapai tujuannya). Ini strategi intelijen, strategi Jakarta untuk membunuh seorang pejuang," kata dia sebagaimana dikutip oleh Fairfax Media.
Dia mengatakan akan terus berjuang "sampai kebenaran ditegakkan di Papua."
Ia juga berpendapat strategi intelijen tersebut terbukti tidak berhasil.
"Papua telah dimasukkan ke Indonesia sejak akhir 1960-an tetapi orang masih mengibarkan  bendera Bintang Kejora di hutan, protes menuntut pemisahan Papua dari Indonesia masih berlangsung," kata dia.
Tokoh agama, Beny Dimara, yang bekerja dengan mahasiswa Papua di Yogyakarta, juga dimasukkan sebagai tokoh yang diamati oleh BIN. Ia digambarkan sebagai pengikut politik separatis. Namun, Beny menolak tuduhan itu.
"Saya seorang imam dan perhatian saya  hanya satu, membuat pemuda Papua  lebih baik dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan dan dalam pendidikan mereka."
Bukan hanya sekali ini Fairfax Media memperoleh dokumen rahasia tentang kegiatan mata-mata terhadap tokoh Papua.
Dokumen Kopassus pada tahun 2011 juga bocor ke Fairfax Media pada tahun 2011. Dokumen itu mengungkapkan adanya pengawasan yang ketat terhadap anggota perlawanan bersenjata Papua serta terhadap sejumlah warga Papua.
Informasi intelijen periode  2006-2009 itu mengungkapkan informan-informan menyusup ke setiap aspek kehidupan sehari-hari di Papua, termasuk pengawasan terhadap turis AS saat mereka menghadiri tarian tradisional di luar ibukota Jayapura, untuk mencari tahu apakah mereka akan  bertemu dengan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan.
Agus Sumule, dosen Universitas Papua, mengatakan Papua adalah satu-satunya kelompok etnis di Indonesia yang dimata-matai oleh pemerintahnya sendiri.
"Indonesia mendekati Papua dengan sikap rasisme dan paternalistik," kata Agus.
"Perasaan menjadi bagian dari Indonesia tidak ada pada rakyat Papua karena stigma yang dikenakan kepada rakyat Papua bahwa kami ini separatis, bahwa kami tidak mampu melakukan hal-hal seperti yang dilakukan oleh orang di pulau Jawa...."
Sebuah  laporan yang dibuat oleh direktur Institute for Policy Analysis untuk Konflik di Jakarta pada 2015 mengatakan Papua menghadapi indikator pembangunan terendah.
"Pemerintah Indonesia terus-menerus gagal  menyelesaikan masalah ini, yang menyulut gerakan kemerdekaan," kata dia.
Editor : Eben E. Siadari
Share This :

Post a Comment

 

Top